Rabu, 10 Juli 2013

Rakyat Papua Mendukung Pendirian Kantor OPM/TPN

Rakyat Papua Mendukung Pendirian Kantor OPM/TPN

Walikota Oxford, Moh Niaz Abbasi, di dampingi Benny Wenda, Andrew Smith, dan mantan Walikota Oxord, Elise Benjamin saat membuka kantor Perwakilan Papua Merdeka di Oxford (Foto: freewestpapua.org)
Walikota Oxford, Moh Niaz Abbasi, di dampingi Benny Wenda, Andrew Smith, dan mantan Walikota Oxord, Elise Benjamin saat membuka kantor Perwakilan Papua Merdeka di Oxford (Foto: freewestpapua.org)
PAPUAN, Jayapura — Sejumlah aktivis hak asasi manusia di Papua memberikan apresiasi atas langkah kordinator diplomat Internasional Bangsa Papua Barat, Tuan Benny Wenda yang secara resmi membuka kantor Organisasi Papua Merdeka (OPM), di Oxford, Inggris, 28 April 2013 silam.
Kami seluruh rakyat Papua Barat yang ada di Papua, maupun di Luar Papua mendukung langkah Tuan Benny Wenda. Kantor itu sangat berguna untuk kampanyekan pelanggaran HAM di Papua,” tegas Dorus Wakum, aktivis HAM Papua, kepada suarapapua.com, Selasa (21/5/2013).

Menurut Wakum, walaupun mendapat protes keras dari pemerintah Indonesia, pendirian kantor OPM yang juga dihadiri oleh Walikota Oxford tersebut tidak akan pernah ditutup pemerintah Inggris.

“Walikota Oxfrod, aktivis HAM di Inggris, serta masyarakat Inggris mendukung upaya Tuan Benny Wenda, pemerintah Indonesia tidak bisa seenaknya meminta penutupan kantor tersebut. Walaupun mendapat berbagai kecaman, lihat saja Kantor OPM masih tetap berdiri di Oxford,” tegas Wakum.
“Saya justru lihat pemerintah Indonesia respon yang berlebihan karena takut penjajahan yang mereka lakukan terhadap bangsa Papua diketahui dunia internasional, dan sekarang dunia akan segera mengetahui lebih dalam setelah kantor tersebut didirikan,” tambahnya.
Wakum juga berharap kantor perwakilan OPM bisa didirikan di beberapa Negara di Eropa, Amerika, termasuk Asia, agar kejahatan kemanusiaan yang dilakukan pemerintah Indonesia terhadap rakyat Papua bisa segera diketahui.
“Kalau pejabat-pejabat pemerintah di Jakarta mengatakan tuan Benny Wenda tidak mendapat dukungan dari rakyat Papua Barat, saya kira mereka keliru, rakyat sangat antusias dan sangat mendukung perjuangan tuan Benny Wenda,” kata Wakum.
Bucthar Tabuni, Ketua Parlemen Nasional West Papua (PNPW) juga mendukung langkah tuan Benny Wenda yang mendirikan kantor OPM di Oxford.
“Pernyataan pejabat-pejabat di Jakarta terkait pendirian kantor OPM tidak usah ditanggapi serius, itu pernyataan para penjajah,” ujarnya singkat.
Sebelumnya, seperti diberitakan media ini (baca : Walikota Oxford Buka Kantor Papua Merdeka di Inggris) Walikota Oxford, Moh Niaz Abbasi, didampingi kordinator Free West Papua Campaign (FWPC), Benny Wenda, anggota Parlemen Inggris, Andrew Smith, dan mantan Walikota Oxford, Elise Benjamin, secara resmi telah membuka kantor perwakilan Papua Merdeka di Inggris, pada 28 April 2013 lalu.
Sementara itu, Andrew Smith, dalam kesempatan tersebut menyambut baik dibukanya kantor resmi perwakilan Papua Merdeka di Oxford, dan ia berjanji akan terus membantu Papua melalui Parlemen Internasional Untuk Papua yang telah dibentuk dua tahun lalu.
“Tuan Walikota Oxford juga memberikan dukungan dan pesan sebelum memotong pita tanda dibukanya kantor ini tadi,” ujar Smith dalam sambutannya.
Dalam kesempatan tersebut, hadir juga Paul Aiton, Pemain Rugby Nasional dari Papua New Guine, Jenifer Robinson dan Charles Foster, dari kelompok pengacara internasinal untuk Papua Barat, mahasiswa dari Universitas Oxford, warga Papua di Belanda, serta pendukung Papua Merdeka di Inggris.


Mereka Mengambil Anak-anak Kami

Mereka Mengambil Anak-anak Kami

Oleh; Lepinus kogoya

Anak-anak Papua sementara dibawa dari Papua ke sekolah-sekolah Islam di Jawa untuk “dididik kembali”, tulis Michael Bachelard.
Johanes Lokobal duduk di atas rumput yang menjadi alas dari lantai kayu rumah kecilnya yang hanya terdiri atas satu ruangan. Dia menghangatkan tangannya pada perapian yang terletak di tengah ruangan. Sementara itu dari waktu ke waktu seekor babi, tidak tampak karena berada di ruangan sebelah, menjerit dan membentur-benturkan tubuhnya dengan keras ke dinding rumah.
Kampung Megapura yang terletak di tengah pegunungan di provinsi paling timur Indonesia yaitu papua barat merupakan kampung yang sangat terpencil sehingga penyedian barang-barang hanya dapat dilakukan melalui perjalanan udara atau dengan berjalan kaki. Johanes Lokobal telah tinggal di sana sepanjang hidupnya. Dia tidak tahu dengan tepat berapa usianya, “Tua saja” katanya dengan suara parau. Ia juga miskin. “Saya bekerja di kebun. Pendapatan saya kira-kira Rp. 20.000 per hari. Saya juga membersihkan halaman sekolah.” Tetapi di kehidupannya yang sudah berat, terjadi kemalangan yang paling menyakiti dia. Pada tahun 2005, putra tunggalnya, Yope, dibawa pergi ke Jakarta. Lokobal tidak ingin Yope pergi. Anak itu masih berumur sekitar 14 tahun, tapi dia berbadan besar dan kuat, seorang pekerja yang baik. Namun orang-orang itu tetap membawa dia pergi. Beberapa tahun kemudian, Yope meninggal. Tidak ada yang bisa mengatakan kepada Lokobal bagaimana atau kapan tepatnya anaknya meninggal, dan dia juga tidak tahu di mana anaknya dimakamkan. Yang dia tahu secara pasti adalah, bahwa hal ini tidak seharusnya terjadi.
“Jika anak saya masih hidup, dia yang akan merawat keluarga,” kata Lokobal. “Dia yang akan pergi ke hutan dan mengumpulkan kayu bakar untuk keluarga. Ini membuat saya sedih.
”Orang-orang yang membawa Yope pergi adalah bagian dari kelompok perdagangan anak-anak Papua Barat yang terorganisir. Investigasi yang dilakukan selama enam bulan oleh Good Weekend telah mengkonfirmasikan bahwa anak-anak, yang mungkin berjumlah ribuan, telah dibawa pergi dalam sepuluh tahun terakhir atau lebih dengan janji akan mendapatkan pendidikan gratis. Di provinsi di mana sekolah-sekolah sangat minim dan banyak keluarga tidak mampu, sekolah gratis bisa menjadi tawaran yang sulit ditolak.
Tetapi untuk beberapa anak, yang masih berusia sekitar lima tahun, ketika mereka tiba barulah mereka menyadari bahwa mereka telah direkrut oleh “pesantren”, sekolah Islam berasrama, dimana hanya sebagian kecil waktu digunakan untuk belajar matematika, ilmu pengetahuan alam atau bahasa karena digantikan dengan belajar di mesjid selama berjam-jam. Di sana, seperti yang dikatakan oleh salah satu pimpinan pesantren, “Mereka belajar untuk menghormati Allah, itu merupakan hal utama.” Pesantren-pesantren ini memiliki satu tujuan: mengirim para lulusan kembali ke Papua yang mayoritas penduduknya beragama kristen untuk menyebarkan ajaran islam mereka yang keras.
Tanyakanlah kepada 100 anak laki-laki dan perempuan Papua yang berada di Pesantren Daarur Rasul di pinggiran Jakarta apa cita-cita mereka ketika dewasa nanti dan mereka akan berteriak “Ustad! Ustad!”
Di Papua, terutama di kawasan pegunungan, masalah identitas agama dan budaya merupakan isu yang panas. Data sensus selama lebih dari empat puluh tahun terakhir menunjukan bahwa penduduk asli saat ini jumlahnya sama dengan jumlah penduduk pendatang yang sebagian besar beragama Islam, yang berasal dari sejumlah daerah di Indonesia. Penguasaan pendatang baru terhadap bidang ekonomi, cukup efektif dalam meminggirkan penduduk asli. Migrasi ini berarti bahwa masyarakat asli Papua memiliki ketakutan yang nyata dan realistis bahwa mereka akan menjadi etnis dan agama minoritas di tanah mereka sendiri. Sejumlah kisah tentang orang-orang yang membawa pergi anak-anak mereka menambah ketegangan emosional dan memiliki potensi untuk mengobarkan ketegangan di wilayah yang sudah rentan.
Dalam kurun waktu lima puluh tahun, pemberontakan kaum separatis telah aktif di Papua dan ratusan ribu orang meninggal dalam upaya mereka untuk meraih kemerdekaan Papua. Kekristenan , yang dibawa oleh para misionaris dari Belanda dan Jerman, adalah kepercayaan yang dianut mayoritas penduduk asli dan juga bagian penting dari identitas mereka. Agama Islam sebenarnya memiliki sejarah yang lebih panjang di Papua dibandingkan dengan agama Kristen, tetapi yang diajarkan adalah ajaran (Islam) yang lebih ramah dibandingkan dengan yang dikothbahkan di mesjid-mesjid di Jawa yang semakin hari cenderung semakin menunjukkan kesan beraliran keras, dan setidaknya untuk sampai saat ini, Islam masih merupakan agama minoritas di Papua. Tetapi ketika anak-anak pesantren kembali dari Jawa, kepercayaan mereka telah berubah. “Mereka telah menjadi orang yang berbeda,” kata pemimpin Kristen Papua, Benny Giay, kepada saya. “Otak mereka telah dicuci.”
Sekolah-sekolah ini bersikeras bahwa mereka hanya merekrut murid-murid yang memang sudah beragama islam, tapi jelas kalau mereka tidak terlalu teliti. Di Daarur Rasul, saya dengan cepat menemukan dua bocah kecil, Filipus dan Aldi, yang telah menjadi mualaf – baru pindah agama dari Kristen ke Islam. Salah satu organisasi Islam radikal, Al Fatih Kafah Nusantara (AFKN) tidak segan-segan untuk menyembunyikan tujuannya yaitu mengubah kepercayaan seseorang serta menggunakan agama demi tujuan politik. Pemimpin AFKN, Fadzlan Garamatan mengatakan bahwa AFKN telah membawa 2200 anak-anak keluar dari Papua sebagai bagian dari program nasional mereka “Mengislamkan”. “Ketika [orang Papua] berpindah agama menjadi Islam, keinginan mereka untuk merdeka berkurang,” kata Fadzlan di akun internet AFKN.
Di Papua yang bergolak, pergerakan anak-anak dan perpindahan kepercayaan mereka merupakan persoalan yang mudah meledak secara politik. Kami telah diperingatkan berkali-kali untuk tidak melanjutkan investigasi terhadap kisah ini. Hal ini tidak pernah diberitakan di pers Indonesia. Kepala Unit Percepatan Pembangunan di Papua dan Papua Barat, Bambang Darmono, yang berkantor pusat di Jakarta hanya mengatakan bahwa ini adalah satu dari “banyak masalah di Papua”, dan direktur Pesantren di Kementerian Agama, Saefudin, mengatakan bahwa dia tidak pernah mendengar tentang hal tersebut. Tetapi upaya saya untuk menelurusuri kehidupan dan kematian salah satu anak Papua telah mengungkapkan bahwa perdagangan itu terus berlangsung. Dan, dalam upaya untuk mengabdi kepada kepentingan agama dan politik yang luhur adakalanya kehidupan anak-anak belia usia tercampakkan.
Elias Lokobal tersenyum sendiri ketika ia berbicara tentang adik tirinya yang selalu bersemangat, namun yang kini telah meninggal, tetapi ketika pembicaraan beralih ke Amir Lani, ekspresi wajahnya berubah menjadi gusar. Lani adalah seorang ulama lokal di Megapura dan beberapa kampung lain di sekitar Wamena. Saat itu sekitar tahun 2005 ketika dia dan Aloysius Kowenip, kepala polisi Yahukimo, sebuah kabupaten tetangga, mulai mendekati beberapa keluarga untuk merekrut anak-anak mereka. Keduanya berkerja untuk membawa lima anak laki-laki masing-masing dari lima kampung, yang berasal dari keluarga tidak mampu, dan mengirim mereka ke Jawa untuk pemperoleh pendidikan. Kowenip, seorang yang beragama Kristen, mengatakan bahwa itu merupakan idenya untuk “membantu” anak-anak terserbut, dan bahwa dananya berasal dari “pemerintah daerah dan sebuah oranganisasi Islam” yang namanya tidak dapat dia ingat. Dia mengatakan bahwa dia mencari anak-anak yang hanya memiliki satu orang tua karena “tidak ada yang membimbing mereka”
Yope yang masih kecil masuk dalam kategori anak-anak seperti itu. Meskipun dia memiliki ibu tiri, ibu kandungnya telah meninggal. Keluarganya adalah keluarga muslim, meskipun Yope terkadang pergi ke gereja bersama pamannya. Baik Lani atau Kowenip tidak pernah datang mengunjungi ayah Yope, Johanes Lokobal, untuk menjelaskan rencana mereka. Hal ini masih mengusiknya.
“Orang-orang itu seharusnya meminta izin kepada orang tua,” kata Lokobal. Sebaliknya mereka hanya bertanya kepada Yope muda saja, yang sangat bersemangat terhadap petualangan ini. Beberapa temannya telah pergi tahun sebelumnya dan dia tertarik untuk bergabung dengan mereka.
Ketika tiba saatnya bagi Yope untuk berangkat, semuanya terjadi sangat cepat, kenang Elias, kakak tirinya. “Saya pergi ke sekolah dan ketika saya kembali sudah tidak ada orang dirumah.”
Andreas Asso juga bagian dari kelompok yang sama. Dia sekarang adalah seorang pemuda yang pemalu yang berjuang untuk mencari nafkah di Jayapura, ibu kota Papua, dia mungkin baru berumur 15 tahun saat itu. Sama seperti Yope, Andreas hanya memiliki satu orang tua. Ayahnya telah meninggal dan, meskipun ibu kandungnya masih hidup, Andreas tinggal dengan ibu tirinya. Sama seperti Yope, dia didekati secara langsung. “Mereka bertanya apakah saya ingin melanjudkan pendidikan saya di Jakarta secara gratis,” kata Andreas. “Kepala polisi itu tidak pernah berbicara dengan ibu tiri saya tapi dia berbicara dengan paman saya, saudara ayah saya, dan dia (paman) setuju. Saya dilahirkan sebagai seorang beragama Kristen dan saya akan terus menjadi pemeluk Kristen. Kepala polisi itu hanya berkata bahwa kami akan ditempatkan di sebuah asrama… Seandainya dia bilang bahwa asrama yang dimaksudkan adalah pesantren, tidak satupun dari kami yang akan mau pergi”
Ketika tiba harinya untuk berangkat, Andreas mengatakan bahwa sekelompok anak laki-laki berjumlah 19 orang dimasukan kedalam pesawat Angkatan Udara Indonesia, Hercules C-130 di Wamena. Berdasarkan sejumlah kesaksian, yang termuda dari mereka baru berusia lima tahun. Pesawat itu diawaki oleh orang-orang berseragam. Sulit untuk dibuktikan apakah ada keterlibatan pihak militer, tetapi seorang mantan panglima militer di Papua mengatakan bahwa warga sipil diperbolehkan untuk membeli tiket murah untuk terbang dengan pesawat militer sebagai bagian dari “Kepedulian Sosial” militer. “kami tidak berbicara dengan tentara-tentara itu,” kenang Andreas. “Kami takut.”
Butuh waktu dua hari bagi pesawat itu untuk sampai di Jakarta dan, “kami tidak di beri makan atau ditawari minuman. Beberapa dari kami, terutama yang masih kecil, jatuh sakit… ada beberapa yang muntah-muntah,” kata Andreas. “Ketika mereka datang ke kampung saya, saat itu saya pikir saya ingin pergi. Tetapi ketika saya sudah berada di pesawat, yang bisa saya pikirkan adalah, ‘saya ingin kembali ke kampung saya.’” Ketika mereka mendarat di Jakarta, anak-anak tersebut dibawa dengan kendaraan dan menempuh perjalanan selama tiga jam ke rumah baru mereka – Pesantren Jamiyyah Al-Wafa Al Islamiyah di atas lereng gunung berapi, Gunung Salak, di sisi belakang kota Bogor. Kepala sekolah yayasan Al-Wafa, Harun Al Rasyid, masih ingat akan Andreas Asso dan anak-anak dari Wamena, dan orang-orang yang membawa mereka, Amir Lani dan Aloysius Kowenip, yang dia kenal sebagai “Aloy”. Dua orang ini datang dan “menawarkan murid-murid” ditahun 2005, kenangnya. “Aloy sangat ambisius dalam politik, dan dengan membawa anak-anak ke pesantren saya merupakan salah satu cara untuk meningkatkan posisi atau citranya di masyarakat,” Kata Al Rasyid.
Dalam beberapa hal kesaksian Andreas Asso berbeda dengan kesaksian lainnya tapi mereka sepakat dalam satu hal: anak-anak dari kampung di pedalaman pegunungan Papua tidak cocok untuk berada di tempat itu. “Itu tidak seperti sekolah karena di sekolah mereka punya kelas-kelas.” Kata Andreas. “Untuk yang satu ini, kami hanya pergi ke sebuah mesjid besar dan kami hanya mempelajari tentang agama Islam, hanya membaca Al Quran. Kadang-kadang mereka menampar wajah kami dan memukuli kami dengan tongkat kayu. Mereka bilang orang Papua itu hitam, kulit kami gelap.”
Makanan dan pendidikan di Al Wafa memang gratis tapi persoalan agama sangat ketat. Mereka mempunyai guru-guru dari Yaman dan dibiayai oleh Arab Saudi dan di akun internet mereka mengambarkan Al Wafa sebagai Salafi soleh. Tujuannya adalah: Menciptakan kader-kader pengkhotbah dan orang-orang yang bisa membawa orang-orang lain kepada Islam.” Andreas bersikeras bahwa sebagaimana dirinya beberapa anak-anak lain beragama Kristen dan bahwa kepala sekolah mengubah nama dari lima anak-anak tersebut untuk membuat mereka terdengar lebih islami – tuduhan yang di sangkal oleh Al Rasyid. Dalam hal ini, Al Rasyid mengatakan bahwa orang-orang Papua itu adalah masyarakat tertinggal yang susah diatur dan melelahkan guru-guru mereka “karena latar belakang budaya mereka berbeda”.
Dia mengatakan bahwa anak-anak itu kencing dan buang air besar di halaman sekolah serta mencuri hasil ladang dari para petani sekitar pesantren. Dia mengakui menghukum mereka dengan “memarahi” dan memukul “dengan rotan di kaki”. Sekitar dua atau tiga bulan setelah kedatangan mereka, Nison Asso, anak yang sakit-sakitan, meninggal dunia.
“Dia berusia 10 tahun,” kata Andreas. “Dia memang sudah sakit dari di Wamena tapi… dia meninggal. Jenazahnya masih di Bogor karena pesantren tidak punya cukup uang untuk mengirim jenazah Nison kembali, meskipun orang tuanya menginginkan jenazah anaknya dikirim kembali ke Papua.” Al Rasyid tidak mau memberikan komentar tentang nasib yang dialami Nison. Setelah kurang dari setahun, menjadi jelas bagi anak-anak tersebut dan juga pesantren bahwa percobaan itu gagal, sehingga Amir Lani di panggil. Andreas mengatakan bahwa dia memohon kepada Lani agar membawanya pulang, namun permintaannya ditolak. Sebaliknya, Lani malah membawa mereka ke Jakarta dan menyerahkan mereka kepada Ismail Asso, seorang Papua yang juga pernah menjadi pelajar kiriman (dari Papua ke Jawa) dan yang namanya pun sudah diganti. Ismail memberitahu anak-anak itu bahwa tidak ada cukup uang untuk mengirim mereka kembali ke Papua. Para orang tua anak-anak ini, tampaknya tidak pernah diajak bicara (mengenai rencana belajar secara gratis di Pulau Jawa).
Beberapa murid ditempatkan di sebuah pesantren baru di Tangerang, dekat dengan Jakarta. Kemudian mereka dikeluarkan juga dari pesantren tersebut, karena, seperti penuturan Ismail Asso, “Anak-anak ini memang sudah nakal sejak di Papua.” Tetapi Andreas tetap tidak mau sekolah, dan malah berkerja sama dengan seorang anak lainnya, Muslim Lokobal, “yang juga seorang kristen tetapi diberi nama ‘Muslim’”. Keduanya mencoba hidup dengan caranya sediri di kota besar.
Masalah yang terus-menerus dihadapi ketika saya melakukan penelitian untuk menulis laporan ini adalah memperoleh informasi yang akurat – nama, waktu, dan umur. Nama-nama sudah diubah, latar belakang dihilangkan, dan anak-anak yang berasal dari kampung jarang mengetahui umur mereka sendiri. Tetapi, akhir yang tragis yang dialami oleh Yope Lokobal menunjukkan bahwa mungkin ia adalah anak yang sama seperti yang dikenal oleh Andreas Asso sebagai Muslim Lokobal.
Andreas menceritakan, bahwa pada suatu malam Muslim minum minman keras sampai mabuk. Tidak ada saksi tentang apa yang sesungguhnya terjadi sesudah itu, danada lima cerita yang berbeda yang berasal dari sumber-sumber yang tidak menyaksikan secara langsung. Yang disampaikan oleh Andreas adalah yang paling mengerikan. “Dalam perjalanan kembali ke pesantren, Muslim membuat masalah dengan penduduk setempat, jadi mereka memukul dan membunuh dia.Mereka membawa jazadnya ke pesantren.Dan karena mereka membencinya, mereka mencungkil salah satu bola matanya, dan memasukkan botol ke dalam rongga matanya itu.”Apakah gambaran yang sadis ini menunjukkan kematian Yope? Atau, apakah Muslim adalah anak muda yang lain?
Kembali di kampung Megapura, mereka mendapatkan sedikit informasi. “Ada telepon dari Jakarta ke Mesjid di Megapura, dan orang-orang dari mesjid itu menyampaikan berita itu kepada kami,” kenang Johanes Lokobal. “Tidak ada penjelasan tentang bagaimana Yope meninggal.” Saudara tiri Yope, Elias berkata “kejadian itu sekitar tahun 2009 atau 2010. Kami hanya bisa mengadakan upacara berkabung dirumah, berdoa.” Tidak ada yang tahu dimana jenazah Yope dikuburkan.
Anak-anak lain yang terbang dengan pesawat Hercules itu akan berusia 20-an sekarang. Terakhir kali Andreas Asso mendengar kabar mereka, mereka berada di Jakarta, sedikit lebih baik dari pengemis – “pengamen jalanan, atau bekerja di angkutan umum – kondektur, yang memanggil penumpang,” katanya. Tidak diketahui jumlah kelompok anak-anak yang diorganisir oleh Amir Lani dan Aloysius Kowenip untuk dibawa pergi. Teronce Sorasi, seorang ibu dari Wamena, mengatakan bahwa dia pernah didekati oleh “kepala polisi” pada tahun 2007 atau 2008, yang meminta dia untuk mengirimkan anak gadisnya, Yanti, yang pada saat itu hanya berumur lima tahun, dan anak laki-lakinya, Yance 11, ke Jakarta, meskipun “keluarga saya adalah keluarga Kristen”. “ Saya bilang ‘tidak’ karena suami saya pada saat itu baru saja meninggal dan kami masih berduka,” kata Sorasi.
Amir Lani masih tinggal di sebuah rumah di bukit dekat Megapura. Menurut Elias, ketika orang-orang bertanya tentang anak-anak yang hilang dari Wamena, “Dia menghindari mereka”. Ketika saya menghubungi Aloysius Kowenip lewat telepon, dia merasa bangga dengan rencananya. “Jika salah satu dari mereka berhasil menjadi seseorang, maka, sebagai orang Papua saya merasa bangga.” Tetapi ketika ditanya tentang mereka yang meninggal atau yang telah gagal, Kowenip secara tiba-tiba memutuskan sambungan telepon. Beberapa hari kemudian, teman Kowenip, Ismail Asso menelepon dengan marah, kemudian mengirim dua sms ancamam. “Saya peringatkan kamu… jangan coba menggali informasi mengenai orang muslim di Wamena.” Tulisnya, jika tidak “journalis asing yang provokatif” akan di “deportasi dari Indoneisa” atau “dibunuh dengan kampak oleh (orang) Wamena.”
Pemindahan anak-anak secara internal memiliki sejarah yang panjang dan memalukan di Indonesia. Sekitar 4500 anak-anak telah dipindahkan dari Timor Leste selama 24 tahun masa pendudukan Indonesia disana untuk – seperti kata-kata penulis Helene Van Klinken di bukunya Making Them Indonesians (Menjadikan mereka orang Indonesia) – melayani “dakwah Islam”, dan untuk mengikat daerah agar lebih dekat ke Jakarta. Anak-anak, tulisnya, dipilih karena mereka “mudah dipengaruhi dan mudah di manipulasi untuk melayani tujuan-tujuan politik, ras, ideologi dan agama”.
Papua telah menjadi target sejak dahulu. Pada tahun 1969, mantan presiden Suharto mengusulkan untuk memindahkan 200.000 anak-anak dari “kawasan terbelakang dan primitif Papua yang masih hidup di zaman batu” ke jawa untuk mengenyam pendidikan. Kelompok lain yang didanai oleh Arab Saudi, DDII, digunakan untuk membawa anak-anak dari Timor Timor dan Papua. Dan saat ini, AFKN, yang terkait dengan premanisme, garis keras font Pembela Islam (FPI) secara aktif mencari anak-anak untuk direkrut.
Daarur Rasul adalah separuh sekolah, separuh pesantren yang berlokasi di kota satelit Jakarta, Cibinong. Disini, 100 anak laki-laki dari dataran rendah di Papua bagian Barat, berdesakan di gerbang besar untuk menyambut kami. Gerbang itu dikunci karena, menurut salah satu staff yang bekerja disana, “mereka sering kabur”. Sekitar 40 anak perempuan tinggal di bagian bawah dengan sedikit lebih banyak kebebasan. Kepala sekolah Ahmad Baihaqi, bersikeras bahwa dia mengajarkan ajaran islam yang moderat. Dia tidak menyangkal bahwa anak-anak tersebut terkunci, tapi katanya itu hanya selama jam belajar “untuk mendisiplinkan mereka”.
Pada tahun 2011, empat anak laki-laki melarikan diri dan mereka mengatakan bahwa bukan saja mereka dipaksa bekerja sebagai pekerja bangunan, tetapi juga di sekolah, mereka di biarkan kelaparan, diberikan air mentah sebagai air minum dan hanya diajarkan pelajaran agama islam, bahasa Indonesia dan Matematika. Baihaqi bersikeras bahwa anak-anak itu terlalu membesar-besarkan, dia berkata anak-anak terserbut sudah “nakal” sejak sebelum mereka sampai ke sekolah. Dia mengakui memang terkadang murid-muridnya bekerja di lokasi bangunan, tetapi mereka menikmatinya. Pelajaran untuk anak laki-laki dimulai dengan sembahyang pada jam 04.00 pagi. Sekolah dilanjudkan dengan istirahat dan jam tidur siang sampai jam 21.00 malam, diantaranya ada tujuh jam berdoa dan membaca al quran dan hanya tiga setengah jam untuk “ilmu alam, ilmu sosial, membaca dan menulis”.
Baihaqi mengatakan bahwa dia merekrut murid-murid baru di Papua setiap tahun dan bersumpah bahwa para orang tua telah memberikan persetujuan mereka. Tetapi anak-anak itu hanya bisa pulang tiga tahun sekali. Mereka tidak merindukan orang tua mereka, katanya, dan para orang tua setuju dengan pengaturan ini.
Arist Merdeka Sirait, ketua Komisi Perlindungan Anak di Indonesia, mengatakan memisahkan anak dari orang tua selama itu “berarti menghapus akar budaya mereka”, terutama jika nama dan agama mereka juga di ganti. “Ini sangat berbahaya” tambahnya. Tetapi kementrian Agama Republik Indonesia dengan segala kekuatannya tidak mempermasalahkan hal tersebut. Bahkan ini dianjurkan, kata direktur bagian pesantren, Saefudin, karena, “semakin lama anda tinggal (di pesantren) semakin banyak berkah yang akan anda dapat.”
Komisi perlindungan Anak Indonesia, KPAI, juga organisasi yang optimis. Wakil ketua, Asrorun Ni’am, yang juga anggota senior di Majelis Ulama Indoneisa, MUI, lebih khawatir mengenai “Perasaan Keagamaan” yang mungkin kami bangkitkan dengan menulis kisah ini. “itu bertentangan dengan segala usaha untuk membangun suasana yg harmonis.” Katanya memperingatkan kami.
Peraturan sudah jelas. Konvensi PBB tentang Hak Anak, di mana Indonesia merupakan salah satu anggota, mengatakan bahwa anak-anak tidak seharusnya dipisahkan dari keluarga mereka untuk alasan apapun, bahkan kemiskinan.Dan UU perlindungan Anak Indonesia memberikan hukuman lima tahun penjara bagi siapapun yang mengubah agama anak tersebut menjadi berbeda dengan agama keluarga mereka. Di Papua para, pemimpin agama memiliki sedikit kekhawatiran bahwa memindahkan anak-anak adalah bagian dari usaha yang lebih besar untuk menenggelamkan penduduk asli, “ini adalah proyek jangka panjang indonesia untuk membuat Papua sebagai tempat Islam,” kata ketua Gereja Baptis Papua, Socratez Yoman. “Jika Jakarta ingin mendidik anak-anak Papua,” kata pemimpin kristen, Benny Giay, “mengapa mereka tidak membangun sekolah-sekolah di Papua?”
Kami tidak bisa mengkonfirmasi jika pemerintah Indonesia atau lembaga-lembanganya berperan aktif dalam perpindahan anak-anak. Tetapi beberapa organisasi punya dukungan tingkat tinggi. AFKN didanai oleh Zakat (sedekah) yang dikirim melalui lembaga donor dari bank Pemerintah, BRI; Aloysius Kowenip berbicara mengenai pendanaan oleh “pemerintah daerah”; pendonor Daarur Rasul termasuk “polisi dan tentara” sebagai individu, dan paling tidak ada satu group yang dibawa oleh sebuah pesawat militer.
Mungkin, seperti perpindahan anak-anak di Timor Leste yang telah didokumentasikan dengan baik, organisasi di Papua tidak memiliki dukungan pemerintahan tetapi menikmati persetujuan senyap dari masyarakat kelas atas Indonesia. Andreas Asso berhasil selamat untuk menceritakan kisahnya, tetapi ia tetap merasa marah karena ia merasa ditipu untuk meninggalkan rumahnya di pegunungan, lalu nasibnya tidak diperdulikan.
“saya bisa mendapatkan pendidikan di Wamena. Beberapa teman saya yang tinggal telah lulus dari sekolah… Pekerjaan impian saya adalah menjadi seorang polisi. Tetapi saya melihat ke masa lalu dan saya tidak mencapai apa-apa”


Pendidikan Generasi Papua Masa Kini dan Tantangan yang di Hadapi

Pendidikan Generasi Papua Masa Kini dan Tantangan yang di Hadapi

Semua kita yang punya perhatian khusus untuk kemajuan Papua pasti selalu monitor media tentang apa saja yang ada kaitannya dengan Papua. Mulai dari Persipura Jayapura, Freeport, demo mahasiswa, demo merdeka, sampai kiat atau terobosan pemerintah daerah yang menakodahi tanah kami yang tercinta ini.
Hal ini terkadang adalah kegiatan sukarela yang di lakukan kami yang sedang kuliah, kerja atau tinggal saja di Jawa atau Jakarta lebih trendi-nya maupun di dunia. Intinya kita semua memiliki perhatian khusus untuk Papua.
Disini saya ingin mengulas aspek pendidikan saja oleh karena ini adalah bidang yang saya selalu ikuti dari awal mulai saya lulus pendidikan SMA di Jayapura.
Pendidikan
Definisi pendidikan bisa di extract dari Wikipedia dengan artian yang dapat di tafsir dengan berbeda oleh siapa saja.
Menurut hemat saya pendidikan itu ada 2 kunci penting yaitu 1. Proses pengkondisian manusia dari umur siap sekolah (sesuai aturan yang ada) 2. Proses pemberian pengajaran (pengetahuan, moral, etika) dimana masyarakat kita percaya bahwa dengan adanya ini, generasi kita dapat survive di masyarakat, maupun memiliki basis pengetahuan yang dapat menolong ketika masuk ke dalam roda ekonomi global yang hampir semua di drive oleh capitalism (orang/institusi bermodal). Okey, cukup dengan definisi!
Papua dan Pendidikannya
Sebenarnya saya agak ragu dengan keputusan untuk memulai bagian dari tulisan ini apakah dengan pendidikan dulu atau ekonomi. Saya tahu memang saya tidak dapat memberikan analisa detil untuk ekonomi, makanya sebaiknya saya mulai dengan pendidikan dengan asumsi yang saya mulai agak ragu tetapi tetap saya tulisakan yakni:
1. Papua itu kaya sehingga ‘seharusnya’ manusia siapapun yang lahir, tumbuh dan berkembang di tanah Papua selayaknya tidak mengalami ‘kesusahan’ untuk bersekolah dari SD-SMP-SMA-Universitas
2. Papua memiliki generasi muda yang cerdas dan tumbuh di lingkungan yang di dorong dan di dominasi oleh lembaga spiritual (gereja, mesjid, pura dll) dimana kemanapun mereka di seluruh Indonesia atau LN, mereka pasti mampu memilah yang ‘baik bermanfaat’ dan yang ‘tidak baik dan tidak bermanfaat’ untuk kedepan.
Sekarang, saya mulai merasakah kalau sistim yang telah di ciptakan untuk mendorong atau setidaknya me-maintain kualitas pendidikan di Papua mulai degradasi.
Apakah ini benar atau tidak, semoga saja diharapkan tidak terjadi demikian. Persoalannya sebenarnya yang saya ingin permasalahkan atau dengan kata akademis, mengundang debat/tanggapan dari kalangan mana saja yang tentunya punya hati dalam hal ini.
Pertama, saya perhatikan nakodah kapal Prov Papua dan Papua Barat sekarang belum terus terang dengan ‘grand design’ tentang pendidikan dan arahnya ke depan.
Contoh saja, gubernur terdahulu mencanangkan program 1000 doktor asal Papua dimana akan memberikan kontribusi benar dari timur Papua untuk RI. Hal ini di follow up oleh badan baru yang di bentuk BP ESDM dengan meng-outsourcing project ini ke beberapa institusi tink-tank yang proven e.g. Surya Institute. Program sudah berjalan dengan baik dengan adanya beberapa lulusan terbaik dan membanggakan di level S1 hingga ‘mungkin’ S2 dan S3. Namun konon (belum tentu benar) program ini akan di hentikan dengan adanya signal peleburan (dibubarkan) BP ESDM ini.
Nah, kalau dengan begini, mau di bawa kemana pendidikan kita? Semoga saja ada succession plan-nya Pak Lukas!
Lihat lagi Bupati Jayapura Habel Suway dengan program P5-nya sudah menghasilkan beberapa lulusan (orang Papua) yang sangat baik dan sekarang sedang berada di Papua di berbagai instansi.
Lihat lagi beberapa Bupati dari daerah tengan-gunung Papua (Puncak Jaya, Lani Jaya, Pegunungan Bintang hingga Merauke) tidak tanggung-tanggung untuk mengirim anak-anak mereka untuk di didik di BSD, Tangerang.
Ini harus kita salut! Tetapi kenapa ‘grand plan’ tidak sekalian saja di buat oleh Pemprov Papua/Papua Barat kemudian di jadikan guideline kepada kabupaten mana saja sehingga semua program pendidikan apapun akan mengisi dan menjawab plan yang sudah di buat.
Kenapa saya katakan demikian, persoalannya adalah generasi yang kita sekolahkan ini harusnya sudah di berikan tanggung jawab yang ‘real’ untuk menjadi agen pendorong pembangunan ekonomi, sosial, budaya, bahasa, infrastruktur dan bidang lain untuk Papua.
Mereka akan menjadi generasi ‘pintar dan cerdas’ yang akan memastikan kalau pembangunan apapun dari sisi manapun di eksekusi dengan adil dan sejujurnya dan berdasarkan meritokrasi yang jelas.
Dengan ini kehidupan yang adil dan harmonis akan tercapai. Komunitas akan sadar akan pentingnya memiliki skill atau kompetensi (di dapat dari pendidikan) adalah penting dan modal kritikal untuk kehidupan bermasyarakat. Dengan kata lain kita semua sadar akan pentingnya ‘becoming productive member of society’ dimana ini penting untuk bangun Papua.
Intinya, susah kalau tidak di plankan dari sekarang apa kebutuhan Papua sekarang dan yang akan datang di 10-20 tahun dari sekarang dalam relasi dengan pengembangan productive manpower capability kita.
Sekarang kita sudah memiliki Gubernur Papua baru yang kalau kita ikuti di media masa beliau menang dengan angka yang sangat bagus. Harapan saya sebaiknya pendidikan di bikin sedemikian mungkin sehingga;
1. Anak Papua yang mau sekolah sudah tidak susah lagi
2. Anak Papua dari dini hari sudah memiliki visi yang jelas untuk menjadi apa dan berkontribusi dimana
3. Anak Papua di bantu untuk menjadi bagian dari dunia yang mendedikasikan diri untuk memastikan kalau 1-100 tahun kedepan generasi kami tetap masih exist.
4. Anak Papua dapat menjadi member of productive society di negara ini.
5. Anak Papua dapat memastikan kalau kehidupan kami yang tercipta dari kehidupan non-modern(dari adat/budaya) tetap berlangsung
6. Kami bisa jadi anak modern tetapi juga tetap menjadi anak ‘kampung/suku/bangsa Papua’ yang terus ‘menjaga’ hak sulung dan hak/ajaran leluhur kami yang mendahului kita.
Tolong jangan bargaining/compromise/business-ing pendidikan karena ini masalah survival kami yang ada, lahir dan akan lepas nafas di Papua.
*Septinus Georga Saa adalah pemerhati pendidikan di Papua. Ia juga pernah menjadi pemenang lomba First Step to Nobel Prize in Physics pada tahun 2004 dari Papua


Minggu, 07 Juli 2013

Daftar Riwayat Hidup

Daftar Riwayat Hidup

Daftar Riwayat Hidup

Data Pribadi
Nama : Lepinus kogoya
Tempat, Tanggal Lahir : Ganume,04 Juni 1993
Jenis Kelamin : Laki Laki
Agama : Kristen Protestan
Kewarganegaraan : Indonesia/Papua
Alamat : Jl. Malagai papua
Telephon : 081333500728
Latar belakang Pendidikan :
Formal
2005 – 2006 : SD Inpres Ganume Kab Jayawijaya
2008 – 2009 : SMP Negeri 5 Tiom Kab.Jayawijaya
20011–2012 : SMA Negeri 1 Mulia Kab. Puncak Jaya

Kemampuan :
  • Kemampuan Akuntansi dan Administrasi (Accounting & Administration Skills)
  • Kemampuan Komputer (MS Word, MS Excel, MS PowerPoint, MS Access, MS Outlook dan Internet)
  • Sistem Perpajakan
Pengalaman Kerja :
Praktek Kerja Lapangan:
    1. Uji kompentensi kehamilan
    2. Uji Manafaktur

DAFTAR RIWAYAT HIDUP


DATA PRIBADI

1. Nama Lengkap : ..................................................

2. Tempat, Tanggal Lahir : ..................................................

3. Domisili : ..................................................

4. Jenis Kelamin : ..................................................

5. Agama : ..................................................

6. Status : .................................................. (belum menikah/menikah)

7. Tinggi / Berat Badan : ..................................................

8. Telepon : ..................................................

9. e-mail : ..................................................

RIWAYAT PENDIDIKAN

1. (2005) Lulus SD Inpres Ganume

2. (2008 Lulus SLTPN 5 Tiom

3. (20011) Lulus SMAN 1 Mulia

KEMAMPUAN

1. Kemampuan komputer (MS Word, Excel, Power Point)

2. Menguasai Ilmu Accounting

Demikianlah contoh cv yang bisa saya berikan disini. nanti akan saya data dengan contoh ilmu accounting barangkali ada yang membutuhkannya. semoga dengan menggunakan dari saya ini kalian mendapatkan pekerjaan yang di inginkan, semoga bermanfaat, Salam.



KATA KATA CINTA

KATA KATA CINTA
LEPINUS KOGOYA Sejak ku tak tahu arti cinta Aku mengertinya hingga sekarang Selalu dan selalu tak pernah puas Cinta terkadang membuatnya terbang Terbang kelangit yang tinggi Cinta juga terkadang membuatnya hancur Hancur memecah hati... Aku terlalu sayang padamu Aku tahu tentang dirimu Aku bukanlah laki-laki yang pantas untukmu Aku Tak pernah bisa kau harap Aku tak punya apa-apa Namun dibalik itu semua Ku tahu, kutahu kau mempermainkan aku Ku diam, ku coba tuk bersabar Hingga saat malam tiba Ku yakinkan hati Bahwa dia bukanlah yang terbaik untukku Dia menusukku dari belakang Selamat tinggal kekasih hati...

ABU

ABU
Kata2 mutiara adalah posting kumpulan kata mutiara hati yang saya harapkan bisa memberikan pencerahan hati dan ketentraman bagi anda. Sebelumnya saya juga sudah memposting kata bijak cinta dengan kumpulan kata bijak dan kata mutiara berbagai kata kata mutiara yang akan membantu anda memahami dunia. Saya mengumpulkan daftar kata mutiara dari berbagai sumber dan memang sumbernya terkadang sama, so anda akan menemukan beberapa kata yang mirip atau mungkin sama.

kata2 Mutiara

kata2 Mutiara
Kata2 mutiara adalah posting kumpulan kata mutiara hati yang saya harapkan bisa memberikan pencerahan hati dan ketentraman bagi anda. Sebelumnya saya juga sudah memposting kata bijak cinta dengan kumpulan kata bijak dan kata mutiara berbagai kata kata mutiara yang akan membantu anda memahami dunia. Saya mengumpulkan daftar kata mutiara dari berbagai sumber dan memang sumbernya terkadang sama, so anda akan menemukan beberapa kata yang mirip atau mungkin sama. Kata2 mutiara hati, Ilmu pengetahuan harus dipahami dengan sungguh-sungguh, baru bisa menjadi kebijaksanaan dalam diri sendiri. Kata2 mutiara hati, Kasih sayang tidak dapat dengan memohon pada orang lain, melainkan diperoleh dari sumbangsih yang diberikan. Kata2 mutiara hati, Musuh terbesar kita bukanlah orang lain, melainkan diri kita sendiri.