Mereka Mengambil Anak-anak Kami
Oleh; Lepinus kogoya
Anak-anak
Papua sementara dibawa dari Papua ke sekolah-sekolah Islam di Jawa
untuk “dididik kembali”, tulis Michael Bachelard.
Johanes Lokobal duduk di atas rumput yang menjadi
alas dari lantai kayu rumah kecilnya yang hanya terdiri atas satu
ruangan. Dia menghangatkan tangannya pada perapian yang terletak di
tengah ruangan. Sementara itu dari waktu ke waktu seekor babi, tidak
tampak karena berada di ruangan sebelah, menjerit dan
membentur-benturkan tubuhnya dengan keras ke dinding rumah.
Kampung Megapura yang
terletak di tengah pegunungan di provinsi paling timur Indonesia
yaitu papua barat merupakan kampung yang sangat terpencil sehingga
penyedian barang-barang hanya dapat dilakukan melalui perjalanan
udara atau dengan berjalan kaki. Johanes Lokobal telah tinggal di
sana sepanjang hidupnya. Dia tidak tahu dengan tepat berapa usianya,
“Tua saja” katanya dengan suara parau. Ia juga miskin. “Saya
bekerja di kebun. Pendapatan saya kira-kira Rp. 20.000 per hari. Saya
juga membersihkan halaman sekolah.” Tetapi di kehidupannya yang
sudah berat, terjadi kemalangan yang paling menyakiti dia. Pada tahun
2005, putra tunggalnya, Yope, dibawa pergi ke Jakarta. Lokobal tidak
ingin Yope pergi. Anak itu masih berumur sekitar 14 tahun, tapi dia
berbadan besar dan kuat, seorang pekerja yang baik. Namun orang-orang
itu tetap membawa dia pergi. Beberapa tahun kemudian, Yope meninggal.
Tidak ada yang bisa mengatakan kepada Lokobal bagaimana atau kapan
tepatnya anaknya meninggal, dan dia juga tidak tahu di mana anaknya
dimakamkan. Yang dia tahu secara pasti adalah, bahwa hal ini tidak
seharusnya terjadi.
“Jika anak saya masih hidup, dia yang akan merawat
keluarga,” kata Lokobal. “Dia yang akan pergi ke hutan dan
mengumpulkan kayu bakar untuk keluarga. Ini membuat saya sedih.
”Orang-orang yang membawa Yope pergi adalah bagian
dari kelompok perdagangan anak-anak Papua Barat yang terorganisir.
Investigasi yang dilakukan selama enam bulan oleh Good Weekend telah
mengkonfirmasikan bahwa anak-anak, yang mungkin berjumlah ribuan,
telah dibawa pergi dalam sepuluh tahun terakhir atau lebih dengan
janji akan mendapatkan pendidikan gratis. Di provinsi di mana
sekolah-sekolah sangat minim dan banyak keluarga tidak mampu, sekolah
gratis bisa menjadi tawaran yang sulit ditolak.
Tetapi untuk beberapa anak, yang masih berusia
sekitar lima tahun, ketika mereka tiba barulah mereka menyadari bahwa
mereka telah direkrut oleh “pesantren”, sekolah Islam berasrama,
dimana hanya sebagian kecil waktu digunakan untuk belajar matematika,
ilmu pengetahuan alam atau bahasa karena digantikan dengan belajar di
mesjid selama berjam-jam. Di sana, seperti yang dikatakan oleh salah
satu pimpinan pesantren, “Mereka belajar untuk menghormati Allah,
itu merupakan hal utama.” Pesantren-pesantren ini memiliki satu
tujuan: mengirim para lulusan kembali ke Papua yang mayoritas
penduduknya beragama kristen untuk menyebarkan ajaran islam mereka
yang keras.
Tanyakanlah kepada 100 anak laki-laki dan perempuan Papua yang berada di Pesantren Daarur Rasul di pinggiran Jakarta apa cita-cita mereka ketika dewasa nanti dan mereka akan berteriak “Ustad! Ustad!”
Tanyakanlah kepada 100 anak laki-laki dan perempuan Papua yang berada di Pesantren Daarur Rasul di pinggiran Jakarta apa cita-cita mereka ketika dewasa nanti dan mereka akan berteriak “Ustad! Ustad!”
Di Papua, terutama di kawasan pegunungan,
masalah identitas agama dan budaya merupakan isu yang panas. Data
sensus selama lebih dari empat puluh tahun terakhir menunjukan bahwa
penduduk asli saat ini jumlahnya sama dengan jumlah penduduk
pendatang yang sebagian besar beragama Islam, yang berasal dari
sejumlah daerah di Indonesia. Penguasaan pendatang baru terhadap
bidang ekonomi, cukup efektif dalam meminggirkan penduduk asli.
Migrasi ini berarti bahwa masyarakat asli Papua memiliki ketakutan
yang nyata dan realistis bahwa mereka akan menjadi etnis dan agama
minoritas di tanah mereka sendiri. Sejumlah kisah tentang orang-orang
yang membawa pergi anak-anak mereka menambah ketegangan emosional dan
memiliki potensi untuk mengobarkan ketegangan di wilayah yang sudah
rentan.
Dalam kurun waktu lima puluh tahun, pemberontakan
kaum separatis telah aktif di Papua dan ratusan ribu orang meninggal
dalam upaya mereka untuk meraih kemerdekaan Papua. Kekristenan , yang
dibawa oleh para misionaris dari Belanda dan Jerman, adalah
kepercayaan yang dianut mayoritas penduduk asli dan juga bagian
penting dari identitas mereka. Agama Islam sebenarnya memiliki
sejarah yang lebih panjang di Papua dibandingkan dengan agama
Kristen, tetapi yang diajarkan adalah ajaran (Islam) yang lebih ramah
dibandingkan dengan yang dikothbahkan di mesjid-mesjid di Jawa yang
semakin hari cenderung semakin menunjukkan kesan beraliran keras, dan
setidaknya untuk sampai saat ini, Islam masih merupakan agama
minoritas di Papua. Tetapi ketika anak-anak pesantren kembali dari
Jawa, kepercayaan mereka telah berubah. “Mereka telah menjadi orang
yang berbeda,” kata pemimpin Kristen Papua, Benny Giay, kepada
saya. “Otak mereka telah dicuci.”
Sekolah-sekolah ini bersikeras bahwa mereka hanya
merekrut murid-murid yang memang sudah beragama islam, tapi jelas
kalau mereka tidak terlalu teliti. Di Daarur Rasul, saya dengan cepat
menemukan dua bocah kecil, Filipus dan Aldi, yang telah menjadi
mualaf – baru pindah agama dari Kristen ke Islam. Salah satu
organisasi Islam radikal, Al Fatih Kafah Nusantara (AFKN) tidak
segan-segan untuk menyembunyikan tujuannya yaitu mengubah kepercayaan
seseorang serta menggunakan agama demi tujuan politik. Pemimpin AFKN,
Fadzlan Garamatan mengatakan bahwa AFKN telah membawa 2200 anak-anak
keluar dari Papua sebagai bagian dari program nasional mereka
“Mengislamkan”. “Ketika [orang Papua] berpindah agama menjadi
Islam, keinginan mereka untuk merdeka berkurang,” kata Fadzlan di
akun internet AFKN.
Di Papua yang bergolak, pergerakan anak-anak dan
perpindahan kepercayaan mereka merupakan persoalan yang mudah meledak
secara politik. Kami telah diperingatkan berkali-kali untuk tidak
melanjutkan investigasi terhadap kisah ini. Hal ini tidak pernah
diberitakan di pers Indonesia. Kepala Unit Percepatan Pembangunan di
Papua dan Papua Barat, Bambang Darmono, yang berkantor pusat di
Jakarta hanya mengatakan bahwa ini adalah satu dari “banyak masalah
di Papua”, dan direktur Pesantren di Kementerian Agama, Saefudin,
mengatakan bahwa dia tidak pernah mendengar tentang hal tersebut.
Tetapi upaya saya untuk menelurusuri kehidupan dan kematian salah
satu anak Papua telah mengungkapkan bahwa perdagangan itu terus
berlangsung. Dan, dalam upaya untuk mengabdi kepada kepentingan agama
dan politik yang luhur adakalanya kehidupan anak-anak belia usia
tercampakkan.
Elias Lokobal tersenyum sendiri ketika ia berbicara
tentang adik tirinya yang selalu bersemangat, namun yang kini telah
meninggal, tetapi ketika pembicaraan beralih ke Amir Lani, ekspresi
wajahnya berubah menjadi gusar. Lani adalah seorang ulama lokal di
Megapura dan beberapa kampung lain di sekitar Wamena. Saat itu
sekitar tahun 2005 ketika dia dan Aloysius Kowenip, kepala polisi
Yahukimo, sebuah kabupaten tetangga, mulai mendekati beberapa
keluarga untuk merekrut anak-anak mereka. Keduanya berkerja untuk
membawa lima anak laki-laki masing-masing dari lima kampung, yang
berasal dari keluarga tidak mampu, dan mengirim mereka ke Jawa untuk
pemperoleh pendidikan. Kowenip, seorang yang beragama Kristen,
mengatakan bahwa itu merupakan idenya untuk “membantu” anak-anak
terserbut, dan bahwa dananya berasal dari “pemerintah daerah dan
sebuah oranganisasi Islam” yang namanya tidak dapat dia ingat. Dia
mengatakan bahwa dia mencari anak-anak yang hanya memiliki satu orang
tua karena “tidak ada yang membimbing mereka”
Yope yang masih kecil masuk dalam kategori anak-anak
seperti itu. Meskipun dia memiliki ibu tiri, ibu kandungnya telah
meninggal. Keluarganya adalah keluarga muslim, meskipun Yope
terkadang pergi ke gereja bersama pamannya. Baik Lani atau Kowenip
tidak pernah datang mengunjungi ayah Yope, Johanes Lokobal, untuk
menjelaskan rencana mereka. Hal ini masih mengusiknya.
“Orang-orang itu seharusnya meminta izin kepada
orang tua,” kata Lokobal. Sebaliknya mereka hanya bertanya kepada
Yope muda saja, yang sangat bersemangat terhadap petualangan ini.
Beberapa temannya telah pergi tahun sebelumnya dan dia tertarik untuk
bergabung dengan mereka.
Ketika tiba saatnya bagi Yope untuk berangkat,
semuanya terjadi sangat cepat, kenang Elias, kakak tirinya. “Saya
pergi ke sekolah dan ketika saya kembali sudah tidak ada orang
dirumah.”
Andreas Asso juga bagian dari kelompok yang
sama. Dia sekarang adalah seorang pemuda yang pemalu yang
berjuang untuk mencari nafkah di Jayapura, ibu kota Papua, dia
mungkin baru berumur 15 tahun saat itu. Sama seperti Yope, Andreas
hanya memiliki satu orang tua. Ayahnya telah meninggal dan, meskipun
ibu kandungnya masih hidup, Andreas tinggal dengan ibu tirinya. Sama
seperti Yope, dia didekati secara langsung. “Mereka bertanya apakah
saya ingin melanjudkan pendidikan saya di Jakarta secara gratis,”
kata Andreas. “Kepala polisi itu tidak pernah berbicara dengan ibu
tiri saya tapi dia berbicara dengan paman saya, saudara ayah saya,
dan dia (paman) setuju. Saya dilahirkan sebagai seorang beragama
Kristen dan saya akan terus menjadi pemeluk Kristen. Kepala polisi
itu hanya berkata bahwa kami akan ditempatkan di sebuah asrama…
Seandainya dia bilang bahwa asrama yang dimaksudkan adalah pesantren,
tidak satupun dari kami yang akan mau pergi”
Ketika tiba harinya untuk berangkat, Andreas
mengatakan bahwa sekelompok anak laki-laki berjumlah 19 orang
dimasukan kedalam pesawat Angkatan Udara Indonesia, Hercules C-130 di
Wamena. Berdasarkan sejumlah kesaksian, yang termuda dari mereka baru
berusia lima tahun. Pesawat itu diawaki oleh orang-orang berseragam.
Sulit untuk dibuktikan apakah ada keterlibatan pihak militer, tetapi
seorang mantan panglima militer di Papua mengatakan bahwa warga sipil
diperbolehkan untuk membeli tiket murah untuk terbang dengan pesawat
militer sebagai bagian dari “Kepedulian Sosial” militer. “kami
tidak berbicara dengan tentara-tentara itu,” kenang Andreas. “Kami
takut.”
Butuh waktu dua hari bagi pesawat itu untuk sampai
di Jakarta dan, “kami tidak di beri makan atau ditawari minuman.
Beberapa dari kami, terutama yang masih kecil, jatuh sakit… ada
beberapa yang muntah-muntah,” kata Andreas. “Ketika mereka datang
ke kampung saya, saat itu saya pikir saya ingin pergi. Tetapi ketika
saya sudah berada di pesawat, yang bisa saya pikirkan adalah, ‘saya
ingin kembali ke kampung saya.’” Ketika mereka mendarat di
Jakarta, anak-anak tersebut dibawa dengan kendaraan dan menempuh
perjalanan selama tiga jam ke rumah baru mereka – Pesantren
Jamiyyah Al-Wafa Al Islamiyah di atas lereng gunung berapi, Gunung
Salak, di sisi belakang kota Bogor. Kepala sekolah yayasan Al-Wafa,
Harun Al Rasyid, masih ingat akan Andreas Asso dan anak-anak dari
Wamena, dan orang-orang yang membawa mereka, Amir Lani dan Aloysius
Kowenip, yang dia kenal sebagai “Aloy”. Dua orang ini datang dan
“menawarkan murid-murid” ditahun 2005, kenangnya. “Aloy sangat
ambisius dalam politik, dan dengan membawa anak-anak ke pesantren
saya merupakan salah satu cara untuk meningkatkan posisi atau
citranya di masyarakat,” Kata Al Rasyid.
Dalam beberapa hal kesaksian Andreas Asso berbeda
dengan kesaksian lainnya tapi mereka sepakat dalam satu hal:
anak-anak dari kampung di pedalaman pegunungan Papua tidak cocok
untuk berada di tempat itu. “Itu tidak seperti sekolah karena di
sekolah mereka punya kelas-kelas.” Kata Andreas. “Untuk yang satu
ini, kami hanya pergi ke sebuah mesjid besar dan kami hanya
mempelajari tentang agama Islam, hanya membaca Al Quran.
Kadang-kadang mereka menampar wajah kami dan memukuli kami dengan
tongkat kayu. Mereka bilang orang Papua itu hitam, kulit kami gelap.”
Makanan dan pendidikan di Al Wafa memang gratis tapi
persoalan agama sangat ketat. Mereka mempunyai guru-guru dari Yaman
dan dibiayai oleh Arab Saudi dan di akun internet mereka mengambarkan
Al Wafa sebagai Salafi soleh. Tujuannya adalah: Menciptakan
kader-kader pengkhotbah dan orang-orang yang bisa membawa orang-orang
lain kepada Islam.” Andreas bersikeras bahwa sebagaimana dirinya
beberapa anak-anak lain beragama Kristen dan bahwa kepala sekolah
mengubah nama dari lima anak-anak tersebut untuk membuat mereka
terdengar lebih islami – tuduhan yang di sangkal oleh Al Rasyid.
Dalam hal ini, Al Rasyid mengatakan bahwa orang-orang Papua itu
adalah masyarakat tertinggal yang susah diatur dan melelahkan
guru-guru mereka “karena latar belakang budaya mereka berbeda”.
Dia mengatakan bahwa anak-anak itu kencing dan buang
air besar di halaman sekolah serta mencuri hasil ladang dari para
petani sekitar pesantren. Dia mengakui menghukum mereka dengan
“memarahi” dan memukul “dengan rotan di kaki”. Sekitar dua
atau tiga bulan setelah kedatangan mereka, Nison Asso, anak yang
sakit-sakitan, meninggal dunia.
“Dia berusia 10 tahun,” kata Andreas. “Dia
memang sudah sakit dari di Wamena tapi… dia meninggal. Jenazahnya
masih di Bogor karena pesantren tidak punya cukup uang untuk mengirim
jenazah Nison kembali, meskipun orang tuanya menginginkan jenazah
anaknya dikirim kembali ke Papua.” Al Rasyid tidak mau memberikan
komentar tentang nasib yang dialami Nison. Setelah kurang dari
setahun, menjadi jelas bagi anak-anak tersebut dan juga pesantren
bahwa percobaan itu gagal, sehingga Amir Lani di panggil. Andreas
mengatakan bahwa dia memohon kepada Lani agar membawanya pulang,
namun permintaannya ditolak. Sebaliknya, Lani malah membawa mereka ke
Jakarta dan menyerahkan mereka kepada Ismail Asso, seorang Papua yang
juga pernah menjadi pelajar kiriman (dari Papua ke Jawa) dan yang
namanya pun sudah diganti. Ismail memberitahu anak-anak itu bahwa
tidak ada cukup uang untuk mengirim mereka kembali ke Papua. Para
orang tua anak-anak ini, tampaknya tidak pernah diajak bicara
(mengenai rencana belajar secara gratis di Pulau Jawa).
Beberapa murid ditempatkan di sebuah pesantren baru
di Tangerang, dekat dengan Jakarta. Kemudian mereka dikeluarkan juga
dari pesantren tersebut, karena, seperti penuturan Ismail Asso,
“Anak-anak ini memang sudah nakal sejak di Papua.” Tetapi Andreas
tetap tidak mau sekolah, dan malah berkerja sama dengan seorang anak
lainnya, Muslim Lokobal, “yang juga seorang kristen tetapi diberi
nama ‘Muslim’”. Keduanya mencoba hidup dengan caranya sediri di
kota besar.
Masalah yang terus-menerus dihadapi ketika saya
melakukan penelitian untuk menulis laporan ini adalah memperoleh
informasi yang akurat – nama, waktu, dan umur. Nama-nama sudah
diubah, latar belakang dihilangkan, dan anak-anak yang berasal dari
kampung jarang mengetahui umur mereka sendiri. Tetapi, akhir yang
tragis yang dialami oleh Yope Lokobal menunjukkan bahwa mungkin ia
adalah anak yang sama seperti yang dikenal oleh Andreas Asso sebagai
Muslim Lokobal.
Andreas menceritakan, bahwa pada suatu malam Muslim
minum minman keras sampai mabuk. Tidak ada saksi tentang apa yang
sesungguhnya terjadi sesudah itu, danada lima cerita yang berbeda
yang berasal dari sumber-sumber yang tidak menyaksikan secara
langsung. Yang disampaikan oleh Andreas adalah yang paling
mengerikan. “Dalam perjalanan kembali ke pesantren, Muslim membuat
masalah dengan penduduk setempat, jadi mereka memukul dan membunuh
dia.Mereka membawa jazadnya ke pesantren.Dan karena mereka
membencinya, mereka mencungkil salah satu bola matanya, dan
memasukkan botol ke dalam rongga matanya itu.”Apakah gambaran yang
sadis ini menunjukkan kematian Yope? Atau, apakah Muslim adalah anak
muda yang lain?
Kembali di kampung Megapura, mereka mendapatkan
sedikit informasi. “Ada telepon dari Jakarta ke Mesjid di Megapura,
dan orang-orang dari mesjid itu menyampaikan berita itu kepada kami,”
kenang Johanes Lokobal. “Tidak ada penjelasan tentang bagaimana
Yope meninggal.” Saudara tiri Yope, Elias berkata “kejadian itu
sekitar tahun 2009 atau 2010. Kami hanya bisa mengadakan upacara
berkabung dirumah, berdoa.” Tidak ada yang tahu dimana jenazah Yope
dikuburkan.
Anak-anak lain yang terbang dengan pesawat Hercules
itu akan berusia 20-an sekarang. Terakhir kali Andreas Asso mendengar
kabar mereka, mereka berada di Jakarta, sedikit lebih baik dari
pengemis – “pengamen jalanan, atau bekerja di angkutan umum –
kondektur, yang memanggil penumpang,” katanya. Tidak diketahui
jumlah kelompok anak-anak yang diorganisir oleh Amir Lani dan
Aloysius Kowenip untuk dibawa pergi. Teronce Sorasi, seorang ibu dari
Wamena, mengatakan bahwa dia pernah didekati oleh “kepala polisi”
pada tahun 2007 atau 2008, yang meminta dia untuk mengirimkan anak
gadisnya, Yanti, yang pada saat itu hanya berumur lima tahun, dan
anak laki-lakinya, Yance 11, ke Jakarta, meskipun “keluarga saya
adalah keluarga Kristen”. “ Saya bilang ‘tidak’ karena suami
saya pada saat itu baru saja meninggal dan kami masih berduka,”
kata Sorasi.
Amir Lani masih tinggal di sebuah rumah di bukit
dekat Megapura. Menurut Elias, ketika orang-orang bertanya tentang
anak-anak yang hilang dari Wamena, “Dia menghindari mereka”.
Ketika saya menghubungi Aloysius Kowenip lewat telepon, dia merasa
bangga dengan rencananya. “Jika salah satu dari mereka berhasil
menjadi seseorang, maka, sebagai orang Papua saya merasa bangga.”
Tetapi ketika ditanya tentang mereka yang meninggal atau yang telah
gagal, Kowenip secara tiba-tiba memutuskan sambungan telepon.
Beberapa hari kemudian, teman Kowenip, Ismail Asso menelepon dengan
marah, kemudian mengirim dua sms ancamam. “Saya peringatkan kamu…
jangan coba menggali informasi mengenai orang muslim di Wamena.”
Tulisnya, jika tidak “journalis asing yang provokatif” akan di
“deportasi dari Indoneisa” atau “dibunuh dengan kampak oleh
(orang) Wamena.”
Pemindahan anak-anak secara internal memiliki
sejarah yang panjang dan memalukan di Indonesia. Sekitar 4500
anak-anak telah dipindahkan dari Timor Leste selama 24 tahun masa
pendudukan Indonesia disana untuk – seperti kata-kata penulis
Helene Van Klinken di bukunya Making Them Indonesians (Menjadikan
mereka orang Indonesia) – melayani “dakwah Islam”, dan untuk
mengikat daerah agar lebih dekat ke Jakarta. Anak-anak, tulisnya,
dipilih karena mereka “mudah dipengaruhi dan mudah di manipulasi
untuk melayani tujuan-tujuan politik, ras, ideologi dan agama”.
Papua telah menjadi target sejak dahulu. Pada tahun
1969, mantan presiden Suharto mengusulkan untuk memindahkan 200.000
anak-anak dari “kawasan terbelakang dan primitif Papua yang masih
hidup di zaman batu” ke jawa untuk mengenyam pendidikan. Kelompok
lain yang didanai oleh Arab Saudi, DDII, digunakan untuk membawa
anak-anak dari Timor Timor dan Papua. Dan saat ini, AFKN, yang
terkait dengan premanisme, garis keras font Pembela Islam (FPI)
secara aktif mencari anak-anak untuk direkrut.
Daarur Rasul adalah separuh sekolah, separuh
pesantren yang berlokasi di kota satelit Jakarta, Cibinong. Disini,
100 anak laki-laki dari dataran rendah di Papua bagian Barat,
berdesakan di gerbang besar untuk menyambut kami. Gerbang itu dikunci
karena, menurut salah satu staff yang bekerja disana, “mereka
sering kabur”. Sekitar 40 anak perempuan tinggal di bagian bawah
dengan sedikit lebih banyak kebebasan. Kepala sekolah Ahmad Baihaqi,
bersikeras bahwa dia mengajarkan ajaran islam yang moderat. Dia tidak
menyangkal bahwa anak-anak tersebut terkunci, tapi katanya itu hanya
selama jam belajar “untuk mendisiplinkan mereka”.
Pada tahun 2011, empat anak laki-laki melarikan diri
dan mereka mengatakan bahwa bukan saja mereka dipaksa bekerja sebagai
pekerja bangunan, tetapi juga di sekolah, mereka di biarkan
kelaparan, diberikan air mentah sebagai air minum dan hanya diajarkan
pelajaran agama islam, bahasa Indonesia dan Matematika. Baihaqi
bersikeras bahwa anak-anak itu terlalu membesar-besarkan, dia berkata
anak-anak terserbut sudah “nakal” sejak sebelum mereka sampai ke
sekolah. Dia mengakui memang terkadang murid-muridnya bekerja di
lokasi bangunan, tetapi mereka menikmatinya. Pelajaran untuk anak
laki-laki dimulai dengan sembahyang pada jam 04.00 pagi. Sekolah
dilanjudkan dengan istirahat dan jam tidur siang sampai jam 21.00
malam, diantaranya ada tujuh jam berdoa dan membaca al quran dan
hanya tiga setengah jam untuk “ilmu alam, ilmu sosial, membaca dan
menulis”.
Baihaqi mengatakan bahwa dia merekrut murid-murid
baru di Papua setiap tahun dan bersumpah bahwa para orang tua telah
memberikan persetujuan mereka. Tetapi anak-anak itu hanya bisa pulang
tiga tahun sekali. Mereka tidak merindukan orang tua mereka, katanya,
dan para orang tua setuju dengan pengaturan ini.
Arist Merdeka Sirait, ketua Komisi Perlindungan Anak
di Indonesia, mengatakan memisahkan anak dari orang tua selama itu
“berarti menghapus akar budaya mereka”, terutama jika nama dan
agama mereka juga di ganti. “Ini sangat berbahaya” tambahnya.
Tetapi kementrian Agama Republik Indonesia dengan segala kekuatannya
tidak mempermasalahkan hal tersebut. Bahkan ini dianjurkan, kata
direktur bagian pesantren, Saefudin, karena, “semakin lama anda
tinggal (di pesantren) semakin banyak berkah yang akan anda dapat.”
Komisi perlindungan Anak Indonesia, KPAI, juga
organisasi yang optimis. Wakil ketua, Asrorun Ni’am, yang juga
anggota senior di Majelis Ulama Indoneisa, MUI, lebih khawatir
mengenai “Perasaan Keagamaan” yang mungkin kami bangkitkan dengan
menulis kisah ini. “itu bertentangan dengan segala usaha untuk
membangun suasana yg harmonis.” Katanya memperingatkan kami.
Peraturan sudah jelas. Konvensi PBB tentang Hak
Anak, di mana Indonesia merupakan salah satu anggota, mengatakan
bahwa anak-anak tidak seharusnya dipisahkan dari keluarga mereka
untuk alasan apapun, bahkan kemiskinan.Dan UU perlindungan Anak
Indonesia memberikan hukuman lima tahun penjara bagi siapapun yang
mengubah agama anak tersebut menjadi berbeda dengan agama keluarga
mereka. Di Papua para, pemimpin agama memiliki sedikit kekhawatiran
bahwa memindahkan anak-anak adalah bagian dari usaha yang lebih besar
untuk menenggelamkan penduduk asli, “ini adalah proyek jangka
panjang indonesia untuk membuat Papua sebagai tempat Islam,” kata
ketua Gereja Baptis Papua, Socratez Yoman. “Jika Jakarta ingin
mendidik anak-anak Papua,” kata pemimpin kristen, Benny Giay,
“mengapa mereka tidak membangun sekolah-sekolah di Papua?”
Kami tidak bisa mengkonfirmasi jika
pemerintah Indonesia atau lembaga-lembanganya berperan aktif dalam
perpindahan anak-anak. Tetapi beberapa organisasi punya dukungan
tingkat tinggi. AFKN didanai oleh Zakat (sedekah) yang dikirim
melalui lembaga donor dari bank Pemerintah, BRI; Aloysius Kowenip
berbicara mengenai pendanaan oleh “pemerintah daerah”; pendonor
Daarur Rasul termasuk “polisi dan tentara” sebagai individu, dan
paling tidak ada satu group yang dibawa oleh sebuah pesawat militer.
Mungkin, seperti perpindahan anak-anak di Timor
Leste yang telah didokumentasikan dengan baik, organisasi di Papua
tidak memiliki dukungan pemerintahan tetapi menikmati persetujuan
senyap dari masyarakat kelas atas Indonesia. Andreas Asso berhasil
selamat untuk menceritakan kisahnya, tetapi ia tetap merasa marah
karena ia merasa ditipu untuk meninggalkan rumahnya di pegunungan,
lalu nasibnya tidak diperdulikan.
“saya bisa mendapatkan pendidikan di Wamena.
Beberapa teman saya yang tinggal telah lulus dari sekolah…
Pekerjaan impian saya adalah menjadi seorang polisi. Tetapi saya
melihat ke masa lalu dan saya tidak mencapai apa-apa”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar