Pendidikan Generasi Papua Masa Kini dan Tantangan yang di Hadapi
Semua
kita yang punya perhatian khusus untuk kemajuan Papua pasti selalu
monitor media tentang apa saja yang ada kaitannya dengan Papua. Mulai
dari Persipura Jayapura, Freeport, demo mahasiswa, demo merdeka,
sampai kiat atau terobosan pemerintah daerah yang menakodahi tanah
kami yang tercinta ini.
Hal
ini terkadang adalah kegiatan sukarela yang di lakukan kami yang
sedang kuliah, kerja atau tinggal saja di Jawa atau Jakarta lebih
trendi-nya maupun di dunia. Intinya kita semua memiliki perhatian
khusus untuk Papua.
Disini saya
ingin mengulas aspek pendidikan saja oleh karena ini adalah bidang
yang saya selalu ikuti dari awal mulai saya lulus pendidikan SMA di
Jayapura.
Pendidikan
Definisi
pendidikan bisa di extract
dari Wikipedia dengan artian yang dapat di tafsir dengan berbeda oleh
siapa saja.
Menurut hemat
saya pendidikan itu ada 2 kunci penting yaitu 1. Proses pengkondisian
manusia dari umur siap sekolah (sesuai aturan yang ada) 2. Proses
pemberian pengajaran (pengetahuan, moral, etika) dimana masyarakat
kita percaya bahwa dengan adanya ini, generasi kita dapat survive
di masyarakat, maupun memiliki basis pengetahuan yang dapat menolong
ketika masuk ke dalam roda ekonomi global yang hampir semua di drive
oleh capitalism
(orang/institusi bermodal). Okey, cukup dengan definisi!
Papua
dan Pendidikannya
Sebenarnya
saya agak ragu dengan keputusan untuk memulai bagian dari tulisan ini
apakah dengan pendidikan dulu atau ekonomi. Saya tahu memang saya
tidak dapat memberikan analisa detil untuk ekonomi, makanya sebaiknya
saya mulai dengan pendidikan dengan asumsi yang saya mulai agak ragu
tetapi tetap saya tulisakan yakni:
1. Papua itu
kaya sehingga ‘seharusnya’ manusia siapapun yang lahir, tumbuh
dan berkembang di tanah Papua selayaknya tidak mengalami ‘kesusahan’
untuk bersekolah dari SD-SMP-SMA-Universitas
2. Papua
memiliki generasi muda yang cerdas dan tumbuh di lingkungan yang di
dorong dan di dominasi oleh lembaga spiritual (gereja, mesjid, pura
dll) dimana kemanapun mereka di seluruh Indonesia atau LN, mereka
pasti mampu memilah yang ‘baik bermanfaat’ dan yang ‘tidak baik
dan tidak bermanfaat’ untuk kedepan.
Sekarang,
saya mulai merasakah kalau sistim yang telah di ciptakan untuk
mendorong atau setidaknya me-maintain kualitas pendidikan di Papua
mulai degradasi.
Apakah ini
benar atau tidak, semoga saja diharapkan tidak terjadi demikian.
Persoalannya sebenarnya yang saya ingin permasalahkan atau dengan
kata akademis, mengundang debat/tanggapan dari kalangan mana saja
yang tentunya punya hati dalam hal ini.
Pertama, saya
perhatikan nakodah kapal Prov Papua dan Papua Barat sekarang belum
terus terang dengan ‘grand
design’
tentang pendidikan dan arahnya ke depan.
Contoh saja,
gubernur terdahulu mencanangkan program 1000 doktor asal Papua dimana
akan memberikan kontribusi benar dari timur Papua untuk RI. Hal ini
di follow up
oleh badan baru yang di bentuk BP ESDM dengan meng-outsourcing
project ini ke beberapa institusi tink-tank yang proven e.g. Surya
Institute. Program sudah berjalan dengan baik dengan adanya beberapa
lulusan terbaik dan membanggakan di level S1 hingga ‘mungkin’ S2
dan S3. Namun konon (belum tentu benar) program ini akan di hentikan
dengan adanya signal peleburan (dibubarkan) BP ESDM ini.
Nah, kalau
dengan begini, mau di bawa kemana pendidikan kita? Semoga saja ada
succession
plan-nya Pak Lukas!
Lihat lagi
Bupati Jayapura Habel Suway dengan program P5-nya sudah menghasilkan
beberapa lulusan (orang Papua) yang sangat baik dan sekarang sedang
berada di Papua di berbagai instansi.
Lihat lagi
beberapa Bupati dari daerah tengan-gunung Papua (Puncak Jaya, Lani
Jaya, Pegunungan Bintang hingga Merauke) tidak tanggung-tanggung
untuk mengirim anak-anak mereka untuk di didik di BSD, Tangerang.
Ini harus
kita salut! Tetapi kenapa ‘grand
plan’ tidak
sekalian saja di buat oleh Pemprov Papua/Papua Barat kemudian di
jadikan guideline kepada kabupaten mana saja sehingga semua program
pendidikan apapun akan mengisi dan menjawab plan yang sudah di buat.
Kenapa saya
katakan demikian, persoalannya adalah generasi yang kita sekolahkan
ini harusnya sudah di berikan tanggung jawab yang
‘real’
untuk menjadi agen pendorong pembangunan ekonomi, sosial, budaya,
bahasa, infrastruktur dan bidang lain untuk Papua.
Mereka akan
menjadi generasi ‘pintar dan cerdas’ yang akan memastikan kalau
pembangunan apapun dari sisi manapun di eksekusi dengan adil dan
sejujurnya dan berdasarkan meritokrasi yang jelas.
Dengan ini
kehidupan yang adil dan harmonis akan tercapai. Komunitas akan sadar
akan pentingnya memiliki skill atau kompetensi (di dapat dari
pendidikan) adalah penting dan modal kritikal untuk kehidupan
bermasyarakat. Dengan kata lain kita semua sadar akan pentingnya
‘becoming
productive member of society’
dimana ini penting untuk bangun Papua.
Intinya,
susah kalau tidak di plankan dari sekarang apa kebutuhan Papua
sekarang dan yang akan datang di 10-20 tahun dari sekarang dalam
relasi dengan pengembangan productive manpower capability kita.
Sekarang kita
sudah memiliki Gubernur Papua baru yang kalau kita ikuti di media
masa beliau menang dengan angka yang sangat bagus. Harapan saya
sebaiknya pendidikan di bikin sedemikian mungkin sehingga;
1. Anak Papua
yang mau sekolah sudah tidak susah lagi
2. Anak Papua
dari dini hari sudah memiliki visi yang jelas untuk menjadi apa dan
berkontribusi dimana
3. Anak Papua
di bantu untuk menjadi bagian dari dunia yang mendedikasikan diri
untuk memastikan kalau 1-100 tahun kedepan generasi kami tetap masih
exist.
4. Anak Papua
dapat menjadi member of productive society di negara ini.
5. Anak Papua
dapat memastikan kalau kehidupan kami yang tercipta dari kehidupan
non-modern(dari adat/budaya) tetap berlangsung
6. Kami bisa
jadi anak modern tetapi juga tetap menjadi anak ‘kampung/suku/bangsa
Papua’ yang terus ‘menjaga’ hak sulung dan hak/ajaran leluhur
kami yang mendahului kita.
Tolong jangan
bargaining/compromise/business-ing
pendidikan karena ini masalah survival kami yang ada, lahir dan akan
lepas nafas di Papua.
*Septinus
Georga Saa
adalah pemerhati pendidikan di Papua. Ia juga pernah menjadi pemenang
lomba First Step to Nobel Prize in Physics pada tahun 2004 dari Papua
Tidak ada komentar:
Posting Komentar